Nahi Mungkar Ala Sufi


Saat Pelacur Melarang Buka Aurat
Seandainya, ada seorang muslim memperkosa seorang muslimah yang mengenakan jilbab, lalu ditengah pemerkosaan itu, si Muslimah membuka jilbab, maka hakikatnya si pemerkosa tetap memiliki tanggung jawab untuk menegur Muslimah tersebut karena telah membuka aurat secara sengaja.

Imam al-Ghazali membuat gambaran ‘aneh’ semacam ini dalam Ihya’ Ulumiddin. Gambaran tersebut disampaikan oleh beliau untuk menyatakan bahwa orang jahat sekalipun tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan nahi munkar, kendatipun kemunkaran yang ia lakukan jauh lebih besar dibanding kemunkaran orang yang hendak ia tegur.
Hakikatnya begitu. Hanya saja, setiap orang pasti mencibirnya dengan nada sinis, karena nahi munkar yang dilakukan tanpa adanya keteladanan akan terkesan memuakkan. Namun demikian, bukan berarti seseorang yang melakukan saebuah keburukan tidak diperkenankan untuk mencegah keburukan tersebut.
Imam al-Ghazali membuat sebuah tamsil: ada orang kehilangan kuda beserta pelananya. Lalu, kemana-mana dia hanya sibuk mencari pelana, tanpa mencari kudanya. Orang ini jelas tampak aneh di mata orang lain, bukan karena dia sibuk mencari pelana, tapi karena dia tidak mencari kudanya. Begitu pula orang fasik yang melakukan nahi munkar, dia dipandang dengan mata sinis oleh orang lain, bukan karena nahi munkar tersebut merupakan sesuatu yang buruk bagi dia. Dia dipandang sinis karena memilih melakukan sesuatu yang penting, dan pada saat bersamaan, meninggalkan sesuatu yang lebih penting.
Jadi, bagi setiap muslim ada dua tugas yang tidak saling menafikan. Tugas yang pertama adalah memperbaiki diri sendiri; sedangkan tugas kedua adalah memperbaiki orang lain. Tugas yang pertama memang jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada tugas kedua, namun bukan berarti seseorang dilarang melakukan tugas kedua jika ia belum melakukan tugas yang pertama.
Dalam bahasa Ibnu Hazm, seseorang itu wajib melakukan amar makruf, sekaligus amal makruf. Orang yang bisa memenuhi keduanya, dia berada dalam posisi ideal. Sedangkan orang yang mengajarkan kebaikan, tapi tidak mengamalkannya, maka dia mendapat nilai positif dalam hal pengajarannya, dan mendapat nilai negatif dalam hal kelalaiannya terhadap amal. Dia masih lebih baik ketimbang orang yang tidak mengajarkan kebaikan, sekaligus tidak melakukannya. Orang ini sudah tidak memiliki nilai positif sama sekali. Akan tetapi, masih ada yang jauh lebih buruk daripada dia, yaitu orang yang menghalangi amar makruf nahi munkar, atau orang yang mengajak pada keburukan.
Tidak ada ulama yang menyatakan bahwa orang yang akan mencegah kemunkaran, harus terlebih dahulu bersih dari kemunkaran. Dalam ajaran Islam tidak mungkin ada nalar, “ Seorang Muslim wajib melarang orang lain meminum tuak, kecuali apabila dia sendiri meminum tuak.” Meski nalar ini benar-benar menggelikan, namun kenyataannya, tidak sedikit orang yang secara tidak sadar menganut pikiran semacam ini.
Said binJubair berkata, “Kalau yang bisa melakukan amar makruf nahi munkar hanyalah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka tidak akan ada orang yang menyuruh pada kebaikan (atau melarang keburukan).”
Mengenai hal itu, konon, ada seseorang datang kepada Imam Hasan al-Bashri dan berkata, “Si fulan tidak mau memberikan mauizah. Dia bilang: aku takut untuk mengucapkan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Mendengar hal itu Imam Hasan al-Bashri berkata, “Lalu siapa diantara kita yang bisa melaksanakan (semua) yang kita ucapkan!? Setan ingin sekali menguasai manusia dengan (menebarkan pikiran semacam) itu, sehingga tidak ada orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran.”
Memang ada beberapa dalil yang mengecam orang yang melakukan amar makruf nahi munkar jika ia sendiri tidak melaksanakan. Mengenai hal itu perlu diketahui, bahwa kecaman tersebut ditujukan kepada perbuatan buruknya, bukan amar makruf nahi munkarnya.
Perlu Juga Mengukur Maslahah-Mudaratnya
Seperti diuraikandi atas, orang fasik sekalipun memang di bebani tanggung jawab  untuk mencegah keburukan, baik melalui perbuatan ataupun ucapan. Akan tetapi, tanggung jawab tersebut juga perlu mengukur maslahah dan mudaratnya. Sebab, selain harus dilakukan dengan cara yang baik, nahi munkar tidak boleh menyebabkan kemunkaran yang lebih besar.
Oleh karena itu, menurut Imam al-Ghazali, orang yang fasik tidak berkewajiban melakukan nahi munkar melalui ucapan atau nasehat kepada orang yang mengetahui kefasikannya. Sebab, kemungkinan besar, orang tersebut akan merasa muak dengan nasehat yang ia sampaikan, sehingga nasehat itu tidak memberikan pengaruh apa-apa pada dia. Bahkan, jika misalnya si fasik itu yakin bahwa orang yang dinasehati akan merespon dengan gunjingan atau ucapan-acapan buruk, maka dia tidak diperkenankan memberikan nasehat. Sebab, selain tidak memberikan manfaat, nasehat tersebut justru akan melahirkan mudarat.
Agar sebuah nasehat memberikan manfaat serta diterima dengan baik, salah atu syarat utamanya adalah ketulusan dan keteladanan dari orang yang memberi nasehat. Tanpa keteladanan, sebuah nasehat akan berlalu begitu saja, tanpa memberikan bekas sedikitpun di dalam hati. Malik bin Dinar berkata, “jika orang alim tidak mengamalkan ilmunya, maka mauizah yang ia berikan akan hilang begitu saja, seperti tetesan air yang terlepas dari saringan.”
“Lidah prilaku jauh lebih mengena daripada lidah mulut,” begitu ditegaskan dalam mutiara hikmah sufistik. Karena itulah, tidak jarang ditemukan kisah para sufi yang tidak perlu mengeluarkan ‘keringat’ bahkan ‘suara’ untuk mencegah terjadinya sebuah kemunkaran.
Salah satunya Syekh Ibrahim al-Matbuli, tokoh sufi Mesir di Abad 9 Hijriyah. Suatu ketika, beliau bersama murid-muridnya berteduh di bawah pohon besar di pinggiran Mesir. Beberapa saat kemudian, datanglah sekelompok prajurit, mereka berteduh tidak jauh dari tempat Syekh al-Matbuli. Mereka mengeluarkan botol-botol minuman keras hendak berpesta.
Melihat hal itu, beberapa murid beliau memohon izin. “Syekh, saya akan menghancurkan botol-botol khamr mereka.”
“Jangan....Mereka akan membuat kalian babak belur. Tapi, jika di antara kalian ada yang memiliki hati, hadapkanlah kepada Allah untuk memecahkan botol-botol itu, lalu terjadi perpecahan di antara mereka.”
Maka, salah seorang murid Syekh al-Matbuli memantapkan batinnya sesuai petunjuk beliau. Ajaib, botol-botol itu pecah seketika. Maka, mereka pun bersitegang, saling menuduh mengenai siapa yang memecahkan botol-botol tersebut di antara mereka.
Cara nahi munkar semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang khas yang mengandalkan keteladanan dan ketulusan. Satu kata teduh yang teruntai dari mulut mereka, jauh lebih baik daripada kilatan pedang di tangan yang kekar. Satu detak batin mereka, jauh lebih mengena ketimbang berjuta-juta kata dari mulut yang senang bersendawa.


*) Sumber tulisan : Buletin Sidogiri,
     Edisi-71, hal. 52-54, Rajab, 1433